Sejarah Kabupaten Kapuas

Sejarah Singkat Kapuas

Kabupaten Kapuas, dengan ibu kota Kuala Kapuas, merupakan salah satu kabupaten otonom yang terbentuk dari wilayah bekas Daerah Dayak Besar dan Swapraja Kotawaringin, yang dahulu termasuk dalam wilayah Karesidenan Kalimantan Selatan. Kabupaten ini memiliki sejarah panjang yang berakar pada peradaban suku Dayak Ngaju, penduduk asli wilayah ini. Suku Dayak Ngaju terbagi menjadi dua sub-suku utama, yaitu Oloh Kapuas-Kahayan dan Oloh Otdanum, yang telah menghuni wilayah ini sejak zaman kuno.

Asal Usul Suku Dayak Ngaju

Menurut legenda “Tetek Tatum”, nenek moyang suku Dayak Ngaju awalnya bermukim di sekitar Pegunungan Schwazener di jantung Kalimantan. Seiring waktu, mereka bermigrasi dan menyebar ke sepanjang tepian Sungai Kapuas dan Sungai Kahayan. Catatan sejarah tentang pemukiman ini muncul dalam naskah Negarakertagama karya Empu Prapanca dari Majapahit pada tahun 1365 M, yang menyebutkan adanya komunitas di wilayah ini. Selain itu, Hikayat Banjar, catatan Tionghoa dari masa Dinasti Ming (1368-1644), dan piagam perjanjian antara Kesultanan Banjarmasin dengan pemerintah Belanda pada abad ke-19 juga menguatkan keberadaan pemukiman kuno di sepanjang Sungai Kapuas dan Kahayan, yang dikenal sebagai Lewu Juking.

Lewu Juking: Pusat Peradaban Awal

Lewu Juking adalah sebuah pemukiman berumah panjang yang terletak di muara Sungai Kapuas Murung, sekitar 10 kilometer dari pesisir Laut Jawa. Pemukiman ini dipimpin oleh kepala suku bernama Raden Labih. Namun, kehidupan di Lewu Juking tidaklah mudah. Penduduknya sering diserang oleh bajak laut, meskipun beberapa kali berhasil memukul mundur serangan tersebut. Ketidakamanan ini mendorong banyak penduduk untuk berpindah pada tahun 1800, mencari tempat tinggal yang lebih aman.

Perpindahan ini memicu munculnya pemukiman-pemukiman baru di sepanjang Sungai Kapuas dan Kapuas Murung. Di Sungai Kapuas Murung, muncul pemukiman Palingkau yang dipimpin oleh Dambung Tuan, Sungai Handiwung oleh Dambung Dayu, dan Sungai Apui oleh Raden Labih, yang kemudian digantikan oleh putranya, Tamanggung Ambu. Sementara itu, di tepi Sungai Kapuas, bermunculan pemukiman seperti Sungai Basarang (dipimpin Panglima Tengko), Sungai Bapalas (Panglima Uyek), dan Sungai Kanamit (Petinggi Sutil).

Masa Kolonial Belanda dan Lahirnya Kuala Kapuas

Pada abad ke-19, Belanda mulai memperluas pengaruhnya di Kalimantan. Pada Februari 1860, Belanda membangun sebuah benteng di ujung Murung, dekat muara Sungai Kapuas, untuk mengawasi lalu lintas perairan. Benteng ini menjadi cikal bakal nama Kuala Kapuas, yang diambil dari sebutan penduduk setempat, “Tumbang Kapuas”. Sejak saat itu, wilayah ini tidak lagi berada di bawah pengawasan Marabahan, melainkan langsung di bawah kendali Belanda.

Belanda menunjuk Tamanggung Nicodemos Ambu sebagai kepala distrik, sementara pemukiman di seberang sungai, seperti Kampung Hampalung, menjadi tempat kediaman kepala distrik. Pembangunan Terusan Anjir Serapat pada tahun 1861 mengubah pola permukiman dari rumah adat Betang menjadi perkampungan biasa. Pada tahun 1868, stasiun zending didirikan di Barimba, diikuti oleh munculnya perkampungan orang Tionghoa dan Kampung Mambulau.

Penetapan Hari Jadi Kuala Kapuas

Berdasarkan sejarah panjang ini, hari jadi Kota Kuala Kapuas ditetapkan pada 21 Maret 1806, merujuk pada berdirinya Betang Sei Pasah, pemukiman adat tertua di wilayah ini. Tanggal ini kemudian dikukuhkan dalam penyempurnaan buku sejarah Kabupaten Kapuas pada 1-2 Desember 1981.

Masa Kemerdekaan dan Pembentukan Kabupaten Kapuas

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, wilayah Kapuas mulai membentuk pemerintahan sendiri. Pada tahun 1964, Belanda melakukan pemekaran wilayah dengan membentuk onderdistrik Kapuas Hilir (beribu kota Kuala Kapuas), Kahayan Tengah (Pulang Pisau), dan Kahayan Hulu (Tewah). Pada 27 Desember 1946, dibentuk Dewan Daerah Dayak Besar, yang kemudian memutuskan bergabung dengan Republik Indonesia pada 14 April 1950.

Kabupaten Kapuas secara resmi diresmikan pada 21 Maret 1951, dengan Raden Badrussapari sebagai bupati pertama. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Kapuas. Pada tahun 2002, Kabupaten Kapuas dimekarkan menjadi tiga kabupaten: Kapuas (ibu kota Kuala Kapuas), Pulang Pisau, dan Gunung Mas (ibu kota Kuala Kurun). Hingga akhir 2015, Kabupaten Kapuas terdiri dari 17 kecamatan, 214 desa, dan 17 kelurahan.

Warisan Sejarah dan Budaya

Kabupaten Kapuas tidak hanya kaya akan sejarah, tetapi juga warisan budaya yang masih terjaga. Rumah Betang, sebagai simbol kehidupan komunal suku Dayak, menjadi saksi bisu perjalanan panjang masyarakat Kapuas. Dari Lewu Juking hingga Kuala Kapuas modern, wilayah ini terus berkembang sambil mempertahankan identitasnya sebagai pusat peradaban Dayak di Kalimantan Tengah.

Dengan sejarah yang panjang dan dinamika yang kompleks, Kabupaten Kapuas menjadi contoh nyata bagaimana sebuah wilayah dapat bertransformasi dari pemukiman tradisional menjadi kabupaten modern, sambil tetap menjaga akar budaya dan sejarahnya.