Sebuah kontroversi menarik tengah berlangsung di Kecamatan Kapuas Hilir, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, dimana persimpangan antara tradisi dan modernisasi dalam sistem kepemimpinan adat sedang diuji. Komunitas Masyarakat Adat Dayak (KMAD) Kecamatan Kapuas Hilir secara resmi menyatakan penolakan mereka terhadap Damang Kepala Adat terpilih yang dihasilkan dari pemilihan pada 26 Februari 2025. Penolakan ini bukan hanya menyoroti dinamika politik lokal, tetapi juga membuka diskusi lebih luas mengenai peran gender dalam kepemimpinan adat yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Penolakan yang dinyatakan oleh KMAD Kapuas Hilir didasarkan pada fakta bahwa Damang Kepala Adat terpilih adalah seorang perempuan. Menurut koordinator KMAD Kapuas Hilir, Yanson Alusius Silai, hal tersebut bertentangan dengan sejarah, tatanan adat budaya, dan tradisi masyarakat adat di kecamatan tersebut. “Sesuai dengan tradisi turun-temurun sejak zaman nenek moyang kami, seorang perempuan tidak pernah diangkat sebagai kepala adat. Oleh karena itu, kami menolak penetapan yang bersangkutan sebagai Damang Kepala Adat Kapuas Hilir,” ungkap Yanson pada Sabtu, 15 Maret 2025.
Mengambil langkah konkret untuk menyuarakan penolakan mereka, KMAD telah mengajukan permohonan resmi kepada beberapa pihak otoritas, termasuk Bupati Kapuas, Ketua DPRD, dan Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kapuas. Mereka meminta agar tidak diterbitkan Surat Keputusan (SK) penetapan serta tidak dilaksanakannya pelantikan dan pengukuhan damang terpilih tersebut. Yanson menambahkan bahwa surat resmi yang berisi penolakan dan pernyataan sikap telah disampaikan kepada semua pihak terkait, termasuk Camat Kapuas Hilir.

Sebagai solusi alternatif, KMAD mengusulkan agar pemerintah daerah dan pemangku kepentingan segera mengambil kebijakan untuk menggelar pemilihan ulang atau mengangkat seorang Penjabat (Pj) Damang Kepala Adat sebagai langkah sementara. “Kami sangat berharap surat pernyataan sikap yang telah kami sampaikan dapat menjadi perhatian serius bagi Bupati Kapuas, Ketua DPRD, dan Ketua DAD Kapuas,” tegas Yanson menutup pernyataannya. Dukungan terhadap penolakan ini cukup signifikan, terbukti dengan surat penolakan tertanggal 6 Maret 2025 yang ditandatangani oleh sejumlah tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, serta perwakilan warga dari berbagai desa dan kelurahan di Kecamatan Kapuas Hilir.
Di sisi lain, Ketua DAD Kapuas, Gumer L Satu, memberikan tanggapan yang lebih moderat terhadap situasi tersebut. Beliau mengakui bahwa menyampaikan aspirasi merupakan hak masyarakat yang tidak bisa dilarang. “Itu memang hak masyarakat, kami (DAD) tidak bisa melarang mereka untuk bersuara, karena itu hak mereka,” ujarnya setelah menerima perwakilan KMAD Kapuas Hilir pada 15 Maret 2025. Namun, Gumer juga menekankan pentingnya bukti-bukti yang melandasi penolakan tersebut, “Silahkan saja menyampaikan aspirasi, tapi itu harus berdasarkan bukti-bukti terhadap penolakan dan sebagainya sesuai yang ditulis di dalam surat penolakan itu.”
Menanggapi alasan spesifik penolakan karena damang kepala adat terpilih adalah perempuan, Gumer memberikan perspektif yang berbeda. Menurutnya, dalam peraturan daerah (Perda) Kapuas tentang adat tidak terdapat aturan yang membatasi jabatan tersebut berdasarkan gender. “Betul saja kalau sejarah, tetapi di dalam Perda kita tidak ada aturan yang seperti itu dan tidak disebutkan laki-laki atau perempuan. Pokoknya semua warga Dayak berhak, tidak ada larangan (untuk menjadi damang kepala adat),” jelasnya dengan tegas. Pernyataan ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara interpretasi tradisi historis dan kerangka hukum modern yang berlaku saat ini.
Kontroversi ini menyoroti dilema yang sering dihadapi oleh masyarakat adat di seluruh Indonesia: bagaimana menyeimbangkan penghormatan terhadap tradisi leluhur dengan tuntutan perubahan sosial dan kesetaraan gender di era modern. Di satu sisi, penghormatan terhadap tradisi merupakan inti dari identitas budaya masyarakat adat. Di sisi lain, prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi menjadi nilai universal yang semakin diterima secara global dan tercermin dalam berbagai peraturan formal, termasuk peraturan daerah.
Sebagai langkah konkret untuk menangani situasi ini, DAD Kapuas berencana membentuk tim khusus untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. “Kalau itu ranahnya adat, DAD akan membentuk tim untuk menyelesaikan masalah itu,” ungkap Gumer L Satu. Pendekatan ini menunjukkan bahwa DAD Kapuas mengakui kompleksitas dari permasalahan yang ada dan berusaha mencari jalan tengah yang dapat menghormati tradisi sekaligus mengakomodasi perkembangan nilai-nilai modern.
Perkembangan kasus ini akan menjadi preseden penting bagi diskusi tentang dinamika gender dalam kepemimpinan adat di Indonesia. Bagaimana resolusi akhir dari kontroversi ini akan memberikan gambaran tentang kemampuan masyarakat adat untuk beradaptasi dengan perubahan sosial sambil tetap mempertahankan nilai-nilai budaya yang mereka junjung tinggi. Apapun hasilnya, dialog yang terbuka dan saling menghormati antara berbagai pihak akan menjadi kunci dalam mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua elemen masyarakat.
Kontroversi di Kapuas Hilir ini bukan hanya tentang satu posisi kepemimpinan lokal, tetapi juga mencerminkan perdebatan yang lebih luas tentang modernisasi dan pelestarian nilai-nilai adat, serta bagaimana kedua aspek ini dapat hidup berdampingan di Indonesia yang terus berkembang. Masyarakat akan mengamati dengan seksama bagaimana pemangku kepentingan lokal menangani situasi sensitif ini, yang hasilnya berpotensi memengaruhi dinamika sosial budaya serupa di daerah lain di masa mendatang.