Pembahasan mengenai revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) semakin memanas setelah Panitia Kerja DPR dan pemerintah menggelar rapat di Hotel Fairmont, Jakarta. Rapat ini berlangsung pada akhir pekan dan mengundang kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama koalisi masyarakat sipil yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap transparansi dan partisipasi publik. Koalisi ini melibatkan beberapa organisasi seperti Imparsial dan KontraS, yang secara tegas menyatakan bahwa tindakan ini menyakiti hati rakyat Indonesia.
Kritik utama yang dilayangkan oleh koalisi sipil adalah terkait dengan lokasi dan waktu pembahasan. Mengadakan rapat di hotel mewah pada akhir pekan dianggap tidak sesuai dengan prinsip efisiensi anggaran yang sedang didorong oleh pemerintah. Mereka berargumen bahwa penggunaan dana publik untuk kegiatan tersebut merupakan pemborosan yang mencederai kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Secara substansial, revisi UU TNI ini mencakup penambahan lembaga yang dapat diduduki oleh TNI aktif, yang kini bertambah menjadi 16 lembaga. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi militer, di mana militer aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil. Kritikus menilai bahwa langkah ini berpotensi melemahkan profesionalisme militer dan mengancam prinsip-prinsip demokrasi serta hak asasi manusia di Indonesia.

Dalam konteks ini, Sekjen DPR Indra Iskandar menjelaskan bahwa pelaksanaan rapat di luar gedung DPR tidak melanggar tata tertib. Namun, penjelasan tersebut tidak meredakan kritik dari masyarakat yang merasa bahwa keputusan tersebut mencerminkan rendahnya komitmen terhadap transparansi. Selain itu, banyak pihak mempertanyakan urgensi pembahasan RUU ini sebelum masa reses DPR yang akan datang.
Koalisi sipil menilai bahwa pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan terburu-buru menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap aspirasi rakyat. Mereka menegaskan bahwa proses legislasi seharusnya melibatkan partisipasi publik secara luas agar dapat menciptakan kebijakan yang lebih akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Lebih jauh lagi, revisi UU TNI ini juga berpotensi memperkuat dominasi militer dalam ranah sipil, yang dapat mengakibatkan loyalitas ganda di antara pejabat sipil yang juga memiliki latar belakang militer. Hal ini bisa menciptakan ketidakpastian dalam pengambilan kebijakan publik dan merusak integritas sistem pemerintahan.
Masyarakat sipil menolak draf RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena dianggap mengandung pasal-pasal bermasalah. Mereka menyerukan agar revisi UU TNI ditunda hingga adanya dialog terbuka dengan semua pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak merugikan demokrasi.
Dalam rangka mencapai keseimbangan antara kebutuhan keamanan nasional dan prinsip-prinsip demokrasi, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan suara rakyat. Pembahasan yang transparan dan inklusif akan menjadi langkah awal untuk membangun kepercayaan kembali antara pemerintah dan masyarakat.
Revisi UU TNI bukan hanya sekadar masalah hukum, tetapi juga mencerminkan dinamika hubungan antara militer dan sipil dalam konteks pemerintahan Indonesia. Oleh karena itu, perhatian publik terhadap isu ini sangat penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat dan memperkuat demokrasi di tanah air.