Kapuas, Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Simpang Camuh, Kapuas, seharusnya menjadi proyek yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas. Namun, kasus hilangnya kayu Ulin dan material berharga lainnya dari bongkaran bangunan di lokasi tersebut justru menimbulkan tanda tanya besar. Kayu Ulin, yang dikenal sebagai kayu berkualitas tinggi dan bernilai ekonomi signifikan, diduga raib tanpa jejak. Padahal, material ini seharusnya masih dapat dimanfaatkan atau dijual melalui mekanisme lelang untuk kepentingan publik.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kapuas, Karolinae, semua material hasil bongkaran, termasuk kayu Ulin, sempat dititipkan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Palinget. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan hal berbeda. Saat media mendatangi TPA, hanya ditemukan beberapa potong kayu biasa dan lembaran seng, tanpa ada jejak kayu Ulin. Padahal, berdasarkan penuturan Teguh, seorang ahli penaksir barang bekas bongkaran, material yang seharusnya ada mencakup belasan rolling door, lebih dari 5 meter kubik kayu Ulin, serta material lain dengan total nilai mencapai ratusan juta rupiah.

Kabid Aset Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kapuas, Eko Tejono, menjelaskan bahwa proses penghapusan aset bangunan di Simpang Camuh telah melalui prosedur resmi. Namun, DLHK sebagai pihak yang bertanggung jawab atas material hasil bongkaran, dinilai tidak memberikan laporan lengkap mengenai material yang masih memiliki nilai ekonomi. Eko menegaskan bahwa material berharga seperti kayu Ulin seharusnya diajukan untuk dilelang atau dimanfaatkan kembali, bukan hilang tanpa penjelasan. Sayangnya, saat tim BKAD melakukan penaksiran, mereka hanya menemukan kayu biasa, bukan kayu Ulin seperti yang seharusnya.
Kasubid Aset II BKAD, Aris, menambahkan bahwa ketidaksesuaian jenis dan jumlah material yang ditemukan dengan laporan awal memperumit proses penaksiran. Material yang hilang, terutama kayu Ulin, tercatat sebagai aset pemerintah dan tidak boleh dimanfaatkan secara pribadi. Jika material tersebut ingin digunakan kembali, DLHK harus mengajukan permohonan resmi ke Pemerintah Daerah dengan menjelaskan jumlah, jenis, dan peruntukannya. Namun, hingga saat ini, tidak ada kejelasan mengenai keberadaan material berharga tersebut.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas dan transparansi pengelolaan aset pemerintah. Hilangnya kayu Ulin dan material berharga lainnya tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap proses pembangunan RTH. Pihak DLHK Kapuas, sebagai penanggung jawab utama, perlu memberikan penjelasan yang jelas dan terbuka mengenai nasib material tersebut. Tanpa transparansi, proyek pembangunan yang seharusnya memberikan manfaat bagi masyarakat justru berpotensi menimbulkan kontroversi dan kerugian yang lebih besar.